Tata Kelola Pilkades
Tahapan Pilkades Dikelola KPU
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak terlalu detail berbicara mengenai tahapan pilkades. Syarat calon dan pencalonan kepala desa dibahas pada pasal 33. Pasal 34 ayat 3 hanya menyebutkan, pilkades dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan.
Pasal 35 menyebutkan, penduduk desa yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala desa sudah berumur 17 tahun atau sudah/pernah menikah ditetapkan sebagai pemilih. Hanya itu cantolan hukum dalam penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pilkades.
Tahapan lebih rinci diatur lewat Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pilkades yang kemudian dirubah menjadi Permendagri nomor 65 tahun 2017.
Padahal setidaknya, tahapan pilkades itu harus memastikan tujuh hal. Yakni:
- Penyusunan anggaran dan program
- Pemutakhiran dan penetapan daftar pemilih
- Pencalonan
- Kampanye
- Pemungutan dan penghitungan suara
- Rekapitulasi hasil perolehan suara; dan
- Sengketa hasil pilkades
Ketujuh tahapan dimaksud dikelola dan dijalankan oleh KPU Kabupaten/Kota, tentu saja bersama Bawaslu setempat. KPU nantinya akan membentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS) di desa yang melaksanakan pilkades. PPS kemudian membentuk KPPS yang akan bertugas pada hari H pemungutan suara. Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dibentuk hanya sebagai supervisi tahapan. Penetapan hasil pilkades akan dilakukan lewat sebuah rapat pleno terbuka PPS yang dihadiri oleh para pihak, yakni saksi calon dan perwakilan Bawaslu, bisa Panwascam dan atau Pengawas Kelurahan/Desa (PKD).
Lewat tahapan dan pola demikian, akan tercipta kepastian hukum. Pemilih pilkades akan merasakan perlakuan yang sama ketika mereka mengikuti seluruh rangkaian tahapan pilkada dan atau pemilu. KPU dan Bawaslu memiliki pengalaman dalam mengelola tahapan pilkada dan atau pemilu. Karena itu, kewenangan kedua lembaga dimaksud untuk mengelola pilkades hendaknya dibunyikan secara bernas pada revisi RUU Pemilu yang kini tengah dibahas oleh DPR RI dan pemerintah pusat.
Untuk penanganan kode etik penyelenggara pilkades, KPU Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk mengadili kasus yang berkenaan dengan hal tersebut. Terlebih, jika dugaan pelanggaran kode etik itu juga turut direkomendasikan oleh Bawaslu, baik atas dasar laporan masyarakat maupun temuan Bawaslu sendiri.
Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, pilkades yang dikelola oleh sebuah panitia bentukan BPD disinyalir lebih mudah terkontaminsasi oleh kepentingan calon petahana.
Hukuman bagi Pelaku Politik Uang Pilkades
Dalam penelitian Halili (2009), modus atau pola politik uang dalam pilkades meliputi empat pola. Pertama, membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon kepala desa lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara. Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk membagikan uang. Ketiga, serangan fajar, dengan cara memberikan uang kepada pemilih sebelum atau pada hari H pemungutan suara. Keempat, penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon kepala desa, yaitu bandar/pemain judi.
Dalam UU Desa tidak ada aturan jelas mengenai mekanisme penanganan tindak pidana politik uang. Sangat berbeda dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang.
Seharusnya UU Desa menyediakan dasar mengatasi dan menuntaskan masalah tersebut. Nyatanya hal itu tidak terjadi dan politik uang terus menjamur bagai hantu yang tidak bisa disentuh namun selalu menampakkan bentuk.
Politik uang juga sudah diatur dalam Pasal 149 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sanksinya sembilan bulan penjara atau denda Rp 500 juta. Jika menggunakan regulasi tentang suap, ancaman hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 15 juta.