
SERANG – Kasus dugaan penyimpangan anggaran program website desa di Kabupaten Serang memasuki babak baru.
Kepala Desa Wanayasa, Tobri, secara resmi melaporkan proyek yang tak kunjung terealisasi itu ke Polres Serang pada Selasa (11/3/2025).
Laporan ini semakin menguatkan dugaan adanya penyelewengan dana desa yang merugikan negara.
Tobri menyampaikan bahwa proyek website desa yang seharusnya sudah berjalan selama dua tahun, hingga kini tak menunjukkan kejelasan.
“Hari ini kami datang ke Polres Serang untuk melaporkan terkait website desa yang sudah dua tahun tidak ada kejelasan,” ujar Tobri usai membuat laporan.
Laporan itu diterima langsung oleh petugas piket, yang kemudian meminta keterangan kronologis serta bukti pendukung.
Tobri menegaskan bahwa setelah menyerahkan bukti-bukti terkait, penyidik menyampaikan bahwa laporan ini akan langsung dilaporkan kepada Kapolres Serang.
“Penyidik mengatakan bahwa laporan ini akan langsung diteruskan ke Kapolres karena menyangkut dugaan penyelewengan anggaran negara,” tambahnya.
Dalam pelaporan ini, Tobri tidak sendirian. Ia didampingi oleh Sekretaris Desa, Bendahara Desa, Babinsa, serta sejumlah perwakilan masyarakat Desa Wanayasa yang turut mempertanyakan kejelasan proyek tersebut.
Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Kasat Reskrim Polres Serang AKP Andi Kurniady ES menegaskan bahwa pihaknya akan segera menindaklanjuti laporan tersebut.
“Nanti kami melakukan penyelidikan terkait hal tersebut,” jawabnya singkat.
Kasus ini semakin menambah temuan adanya kejanggalan dalam proyek website desa di ratusan desa di Kabupaten Serang.
Publik kini menunggu langkah tegas dari aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini, dan memastikan penggunaan dana desa tidak diintervensi oleh pihak luar sehingga merugikan kepentingan masyarakat secara luas.
PT Wahana Semesta Multimedia Banten (WSMB) selaku vendor pengadaan website desa sudah lebih dulu dilaporkan ke Polda Banten pada Jum’at (21/2/2025), dengan Nomor Laporan Pengaduan 05/LP-M/2/2025.
Pelapor menilai, pengadaan website desa di Kabupaten Serang dimonopoli oleh PT WSMB, dan memiliki harga di luar batas kewajaran, jika dibandingkan dengan perusahaan pengembang teknologi lainnya di seluruh Indonesia.
Menurut laporan, proyek pembuatan dan pengembangan website desa yang digarap PT WSMB ini dilakukan dalam dua tahap, ditambah maintenance dan sewa hosting.
Yaitu tahap pertama menelan biaya Rp 37.055.000, sedangkan tahap dua senilai Rp 55.000.000. Sedangkan Pemerintah Desa dikenakan lagi biaya maintenance dan hosting Rp 5 Juta per tahun.
Tak main-main harga yang dibandrol PT WSMB pada proyek website desa yang hampir mencapai Rp 100 juta, diketahui ratusan desa di Kabupaten Serang sudah melakukan pembayaran langsung kepada Direktur PT WSMB, Mashudi.
Selain praktek monopoli, bau indikasi korupsi juga sangat menyengat dalam proyek pembuatan website Desa se-Kabupaten Serang tersebut.
Pelapor juga mengaku menyerahkan hasil survei harga pembanding terkait pekerjaan jasa pembuatan website dan aplikasi tersebut.
“Hasil survey pembanding dan fakta-fakta pendukung hasil analisa pelapor, sudah diserahkan dalam laporan. Kami berharap Bapak Kapolda Banten Irjen. Pol. Suyudi Ario Seto, mudah-mudah tidak ada kompromi dalam penegakan hukum bagi para penggasak uang negara ini,” ujar pelapor.
Dari informasi yang sudah beredar, wartawan juga mendapatkan berkas kwitansi bukti pembayaran kas Desa Cilayang. Bukti transfer dari Kas Desa Cilayang tertanggal 08 November 2023, ditujukkan kepada penerima Wahana PT Semesta Multimedia Banten Banten sebesar Rp 37.055.000, dengan keterangan pemasangan web desa.
Ada juga bukti transfer kedua kepada PT Wahana Semesta Multimedia Banten sebesar Rp 55.000.000 dengan keterangan pembayaran tahap 2 web Desa Cilayang tertanggal 26 September 2024.
Sebelumnya diberitakan juga, dugaan pengkondisian proyek website desa di Kabupaten Serang tersebut semakin mencuat setelah Direktur PT Wahana Semesta Multimedia Banten (WSMB), Mashudi, mengklaim sebagai inisiator program tersebut.
Pernyataan Mashudi itu seperti diberitakan salah satu media online TirtaNews.co.id pada Selasa (18/2/2025).
“Kita yang menginisiasi program ini, dan kita juga yang meminta DPMD untuk membuat penawaran ke desa. Sebab, kalau harus mendatangi setiap desa satu per satu, tentu tidak efektif. Maka dari itu, kami bersurat ke DPMD agar mengumpulkan kepala desa untuk sosialisasi program,” ujar Mashudi sebagaimana diberitakan.
Menurut Saipul Arifin, Ketua Forum Mahasiswa Anti Tertindas (FORMAT) Banten, proyek website desa tersebut sarat dengan indikasi gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang.
Pernyataan Mashudi memberi kesan jelas bahwa sebagai pihak swasta PT WSMB begitu memiliki kuasa mengarahkan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) untuk mempromosikan “jualan website desanya”.
“Mashudi secara terang-terangan mengakui bahwa PT WSMB meminta DPMD Kabupaten Serang untuk membuat penawaran kepada desa-desa. Langkah ini memperlihatkan adanya intervensi langsung dari pihak swasta dalam kebijakan pemerintahan desa, yang seharusnya melalui proses lelang terbuka dan kompetitif,” ujar Saipul.
“Fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa inisiasi proyek ini sejak awal telah dikondisikan untuk menguntungkan pihak tertentu,” imbuhnya.
Selain itu, Mashudi juga menyebutkan bahwa website desa mencakup layanan administrasi surat-menyurat dan database kependudukan. Namun, ia sendiri mengakui bahwa sistem pengelolaan data kependudukan tidak mendapat izin dari Kementerian Dalam Negeri.
“Lalu, mengapa proyek ini tetap dipaksakan tanpa kepastian hukum? Apakah ini hanya akal-akalan untuk mengalihkan perhatian dari dugaan praktik korupsi yang terjadi?” tutur Saipul.
Terkait biaya pembuatan website yang mencapai Rp 97 juta per desa, Mashudi berusaha membantah adanya markup.
Namun, menurut Saipul, harga tersebut dinilai jauh di atas standar biaya pembuatan website yang wajar. Bahkan, ada indikasi bahwa desa-desa “dipaksa” untuk mengikuti program ini melalui surat edaran dari DPMD.
“(Ini) yang sejatinya bertentangan dengan prinsip otonomi desa dalam mengelola anggarannya sendiri,” tegasnya.
“Dugaan gratifikasi juga semakin kuat dengan adanya skema pembayaran yang terbagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, desa harus membayar Rp 37 juta, namun website yang dijanjikan belum bisa diakses sepenuhnya sebelum pelunasan tahap kedua sebesar Rp 55 juta,” jelas Saipul lagi.
Ini semakin membuktikan bahwa proyek ini bukan hanya sarat kejanggalan, tetapi juga menjadi jerat yang cenderung memanfaatkan anggaran desa dengan cara yang tidak transparan.
Dalam pembelaannya, Mashudi dan rekannya, Delfion, menyatakan bahwa tidak ada cashback atau aliran dana ke pihak DPMD.
Namun, pernyataan mereka, kata Saipul, bertentangan dengan kenyataan di lapangan, di mana desa-desa diarahkan hanya untuk menggunakan jasa PT WSMB tanpa pilihan (vendor) lain.
“Jika tidak ada gratifikasi atau kepentingan tertentu, mengapa DPMD begitu aktif dalam mengarahkan desa-desa untuk menggunakan jasa PT WSMB?” cetusnya.
Fakta lain yang terungkap adalah bahwa tidak semua desa mendapatkan manfaat dari program ini.
“Dengan semakin banyaknya indikasi pelanggaran dalam proyek ini, sudah sepatutnya KPK dan aparat penegak hukum turun tangan untuk mengusut tuntas kasus ini. Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri, juga harus segera mengevaluasi kebijakan ini agar tidak menjadi celah bagi praktik korupsi yang merugikan desa-desa di Kabupaten Serang,” harap Saipul. (*/Red)