Pesan yang Berulang
Delegasi yang dipimpin oleh Jaro Tangungan Duabelas (bukan Jaro Pemarentah atau siapapun) senantiasa membawa amanah dari lembaga adat; diantaranya pesan agar seluruh komponen bangsa senantiasa menjaga dan melestarikan alam; menegakkan hukum dan senantiasa menjalin tali persaudaraan, memanusiakan manusia dan memuliakan kehidupan.
“Pesan ini disampaikan berulang kali, setiap Seba. Tapi yang terjadi justru sering kali didenge teu diceulian (didengar tidak dimengerti),” katanya
Memang masih kata Uday, saat upacara adat Seba berlangsung, kelemahannya apa yang disampaikan oleh Jaro Tangungan Duabelas, sulit diikuti dan dicerna. Di samping diucapkan dengan cepat, hampir tak ada jeda, juga bahasa yang dipakai adalah Sunda Buhun (Sunda Kuno).
“Jangankan warga luar, warga Kanekes sendiri, sedikit saja yang mampu memahami seutuhnya,” ucapnya.
“Gumam doa dan berbagai pesan moral yang disampaikan, terucap begitu saja oleh yang mendapat kuasa (Jaro Tanggungan Duabelas) siapapun orang yang menjabatnya. Ghoib memang, kalimat itu tak bisa dipelajari seperti kita menghafal Al-Qur’an, Hadits, Kitab-kitab Suci, Undang-undang atau puisi dan syair lagu. Sebab di Baduy tak ada kitab atau bukunya,” jelasnya.
Dijelaskannya, persoalan yang sangat penting untuk diketahui publik sekarang adalah jangan sampai terulang lagi peristiwa yang tidak semestinya. Seperti memperlakukan delegasi Seba dengan hal yang tidak semestinya.
“Misalnya menghibur mereka dengan dangdutan. Atau mengarahkan mereka untuk melakukan Seba ke tempat selain Gedung Keresidenan yang kelak menjadi kantor Gubernur dan kini menjadi Museum. Jangan menjadikan event itu sebagai ajang tontonan yang dieksploitasi (bukan eksplorasi) secara ekonomi dan kepariwisataan. Sebab mereka bukan obyek wisata, bukan tontonan, tapi tuntunan,” pungkasnya. (***)