Loading...

Implementasi Ambang Batas Parlemen Masih Dinilai Abu-abu

 

SERANG – Direktur Eksekutif Lingkar Studi Hukum dan Demokrasi, Irfan Zidni menilai, bahwa implementasi dari ambang batas parlemen Indonesia masih abu-abu.

Hal itu terungkap berdasarkan kajian rutin yang digelar Lingkar Studi Hukum dan Demokrasi terkait “Sistem Multipartai di Indonesia: Antara Konsep Multipartai Sederhana dan Problematikanya” di Kampus UIN SMH Banten, Jumat, 24 Desember 2021.

“Penerapannya masih dalam zona abu-abu jika kita melihat konfigurasi politik yang sangat beragam di tubuh parlemen dan tidak menyederhanakan komposisi parpol,” kata Irfan dalam keterangannya.

Dikatakannya, pemilihan sistem presidensial yang dipadukan dengan multi partai tidak cocok diberlakukan.

“Karena akan mengakibatkan presiden sangat tergantung kepada fragmentasi partai di parlemen dan program pemerintah pun dipengaruhi dan disesuaikan dengan kepentingan partai,” ujarnya

“Hal ini tentu membuat Checks and balancesnya menjadi bermasalah,” kata Irfan melanjutkan.

Terlebih, dengan penerapan presidential threshold itu sendiri. Di mana adanya kekuatan yang sangat besar bagi presiden dalam menjalankan kekuasaannya. Sehingga, mekanisme pengawasannya jadi lemah.

“Memang dukungan politik atas Presiden menjadi kuat dan tidak menjadi divided government (yang cenderung lemah dukungan), namun justru mengarah ke pemerintahan yang oligarki,” jelasnya.

Problematika ini pula kata Irfan yang mengakibatkan adanya executive heavy, lantaran konfigurasi politik di tubuh Parlemen mendukung penuh dan satu gerbong kekuatan dengan presiden.

Padahal lanjut dia, baik presiden maupun DPR memiliki sumber legitimasi yang sama, yakni dipilih langsung oleh rakyat, yang seharusnya keduanya menjalankan peran untuk mendorong kepentingan rakyat dengan saling awas mengawasinya.

“Bukan malah mendorong kepentingan politik semata,” sebutnya.

Dia memaparkan, ada beberapa alternatif yang bisa ditempuh sebagai upaya meminimalisir permasalahan-permasalahan tersebut.

Pertama, melalui rekayasa pemilu dengan menaikkan angka parliamentary threshold (PT).

Kedua, yaitu dengan menyederhanakan sistem kepartaian melalui pengaturan fraksi di parlemen.

“Syarat pembentukan fraksi dapat dijadikan instrumen untuk menciptakan sistem kepartaian sederhana di parlemen,” katanya.

“Semakin sedikit jumlah partai atau fragmentasi yang ada di parlemen, semakin efektif juga parlemen dalam bekerja karena fragmentasi kepentingannya tidak terlalu banyak,” tambah Irfan mengakhiri. (*/Faqih)

WhatsApp us
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien