Menakar Oposisi Pemerintahan Mendatang

 

Oleh: Ahmad Basori

Oposisi pada pemerintahan mendatang diprediksi masih belum memiliki kekuatan yang signifikan sebagai kekuatan penyeimbang penguasa.

Perhelatan Pilpres 2024 telah usai, sejumlah lembaga survei seperti Litbang Kompas, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Politika Research and Consulting (PRC), Charta Politica Indonesia, Poltracking Indonesia, Voxpol Center Research & Consulting, menempatkan Prabowo dan Gibran menunjukkan perolehan suara tertinggi antara 57–58 persen.

Meskipun hasil Quick Count itu bukan hasil resmi pemilu 2024 namun berdasarkan perjalanan sejarah pemilu di Indonesia sejak 2004, Quick Count terbukti memiliki akurasi yang tinggi. Oleh karena itu, diprediksikan pilpres akan berlangsung hanya dalam satu putaran.

Setelah penghitungan cepat, hal yang menarik untuk diperbincangkan adalah nasib oposisi pada pemerintahan mendatang. Kekhawatiran tentang kekuatan oposisi ini muncul karena selama masa pemerintahan Jokowi, oposisi tidak kuat.

Pada periode pertama pemerintahannya, Jokowi berhasil mendapatkan dukungan dari 386 kursi DPR sebagai pendukung pemerintahannya di parlemen, yang setara dengan 68,9 persen dari total kekuatan kursi di DPR.

Dukungan ini meningkat lagi pada periode berikutnya, di mana pemerintahan Jokowi berhasil menguasai 471 kursi parlemen atau setara dengan 81,9 persen dari kekuatan DPR. Dengan demikian, secara nominal maupun kekuatan politik di parlemen, kekuatan partai politik yang berada di posisi oposisi sangat lemah.

Dengan dukungan yang kuat dari koalisi pemerintah di Parlemen, pemerintahan Jokowi dapat menjalankan kebijakannya tanpa hambatan yang signifikan.

Revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja dapat disahkan tanpa perlawanan yang berarti. Politik dinasti juga terwujud, terlihat dari keputusan Mahkamah Konstitusi menjelang batas akhir pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.

Publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai kontroversial. Keputusan ini terkait erat dengan kepentingan anak presiden, yaitu Gibran, yang hendak maju sebagai calon wakil presiden tetapi sempat terkendala syarat secara konstitusional karena faktor usia.

Hal lain yang perlu dicermati adalah penyaluran bantuan sosial (Bansos) sebesar 11,2 triliun selama masa kampanye, di mana anak Jokowi yaitu Gibran saat itu menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam perhelatan pilpres 2024. Terbukti penyaluran bansos ini menjadi salah satu kunci keberhasilan pasanga Prabowo-Gibran dalam meraup suara yang sangat signifikan.

Terus Berharap Oposisi Kuat

Kartini dprd serang

Jika dilihat dari dinamika koalisi-oposisi sejak masa pemerintahan Jokowi, calon presiden dan partai politik yang menang dalam pemilihan presiden cenderung akan berupaya merangkul partai rival mereka agar bisa masuk ke dalam koalisi pemerintah.

Perilaku ini tentunya menimbulkan persoalan dalam masalah etika politik. Seharusnya partai yang kalah berada di posisi oposisi karena secara logis mereka tidak turut serta dalam perjuangan sejak awal, bahkan tidak terlibat dalam mengantarkan calon presidennya ke kemenangan.

Namun, dalam konteks politik di Indonesia, tidaklah mustahil bahwa pesaing dalam kontestasi pemilu pada akhirnya dapat menjadi mitra dalam pemerintahan. Hal ini terbukti dengan pengalaman lima tahun yang lalu setelah Pemilihan Presiden 2019, di mana Partai Gerindra dan pemimpinnya, Prabowo Subianto, akhirnya memutuskan untuk bergabung dalam pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin hingga saat ini.

Perilaku politik ini terjadi karena didesak oleh sistem politik di mana setiap rezim yang berkuasa memerlukan jaminan dukungan politik yang kuat dengan mengamankan lebih banyak dukungan di parlemen guna menjaga stabilitas pemerintahan. lalu pertanyaan yang kemudian muncul adalah partai mana saja yang diperkirakan berhasil dibujuk oleh penguasa?

Jika dilihat dari rekam jejak partai politik yang kalah dalam pilres 2024 PPP, PKB, dan Nasdem memiliki peluang besar untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan.

Ini disebabkan oleh ketiga partai tersebut belum pernah menjadi partai oposisi sejak era reformasi. Sebaliknya, mereka secara konsisten telah menjadi bagian dari pemerintahan sejak era reformasi. Menariknya, sebelum Pemilu 2024, ketiga partai politik ini selalu bersatu dalam satu koalisi yang sama, yaitu sebagai pendukung Jokowi sebagai calon presiden.

Maka jika dilihat dari rekam jejak oposisi mendatang hanyalah terdiri dari PKS dan PDI-P. Kedua partai ini memiliki pengalaman dan rekam jejak yang solid dalam beroposisi. PDIP, misalnya, telah menjadi oposisi selama 10 tahun atau dua periode pemerintahan di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.

Di sisi lain, PKS juga telah berada di luar pemerintahan selama 10 tahun selama masa pemerintahan Joko Widodo. Namun, jika kedua partai ini digabungkan, persentasenya hanya mencapai 23,92 persen.

Meskipun hanya dua partai yang tersisa, situasinya masih lebih menguntungkan daripada koalisi pada pemerintahan Jokowi tahun 2019. PKS dan PDI-P memiliki kapasitas untuk melakukan berbagai manuver agar isu-isu yang mereka angkat menjadi perhatian publik.

Hal ini akan membuka wacana di masyarakat, memudahkan mahasiswa, dan civil society untuk ikut memberikan warna, jika kebijakan yang dihasilkan tidak menguntungkan rakyat. Namun, yang memprihatinkan adalah jika persentase dukungan hanya mencapai 23,92 persen, artinya secara otomatis selalu kalah jika ada voting terkait dengan pengambilan keputusan dan kebijakan.

Harapan kini terletak pada partai-partai yang kalah dalam pemilihan presiden 2024 yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) agar partai tersebut tidak tergiur bujuk rayu calon penguasa untuk masuk ke dalam koalisi pemerintahan.

Jika mereka kompak untuk bergabung menjadi oposisi total kelima partai tersebut mencapai 49,6 persen. itu artinya oposisi mendatang menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan.
Dalam konteks demokrasi, menjadi oposisi itu mulia karena oposisi yang berada di luar pemerintahan berperan dalam melakukan kritik dan menjalankan mekanisme checks and balances terhadap pemerintah. Tentu saja, dapat dibayangkan jika tidak ada keseimbangan, maka sangat dimungkinkan terjadi kartelisasi antara partai-partai, di mana kedaulatan rakyat yang seharusnya menjadi prioritas dalam demokrasi tidak terpenuhi secara optimal. Hal ini kemudian menjadi pintu gerbang terjadinya oligarki politik, di mana kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil.

Kehadiran oposisi menjadi dorongan bagi persaingan yang sehat antara elit politik dan pemerintahan, yang pada gilirannya menghasilkan program atau kebijakan yang benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.

Seperti yang diungkapkan oleh ilmuwan politik Robert Dahl, esensi demokrasi tidak hanya terkait dengan proses pemilihan umum, tetapi juga melibatkan partisipasi dan peran oposisi dalam struktur pemerintahan. ***

Polda