BANTEN – Banyaknya gunung-gunung di kawasan Banten Utara atau tepatnya di wilayah Kecamatan Bojonegara dan Puloampel, Kabupaten Serang; Kecamatan Pulomerak dan Ciwandan, Kota Cilegon, yang kondisinya bukan hanya botak tapi juga sudah Kroak atau sebagiannya sudah hilang oleh aktivitas tambang.
Hal itu bisa kita lihat secara langsung saat berada di wilayah tersebut di atas. Baik kondisi Kroaknya maupun proses eksploitasinya yang masih berlangsung hingga kini dan entah sampai kapan akan berhenti.
Gunung yang dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai Paku Bumi, dan dalam ilmu lingkungan hidup sebagai daerah resapan atau penahan air untuk menjaga keseimbangan alam di bumi. Selain itu, gunung juga meyuguhkan estetika, keindahan ketika dipandang mata kita, sehingga dalam suatu penelitian banyak didapati anak-anak SD yang menggambar gunung ketika diberi tugas menggambar oleh gurunya.
Di sisi lain gunung juga banyak memiliki kandungan atau struktur inti bumi, berupa batuan keras yang dibutuhkan dalam pembangunan gedung-gedung dan infrastruktur lainnya. Tapi kenapa harus gunung-gunung di Banten Utara yang dikorbankan, sedangkan hasil tambang batu sebagian besarnya dikirim ke pulau-pulau lain, bahkan untuk membuat pulau baru hasil reklamasi?
“Jelas saya sangat menolak kegiatan pengrusakan gunung itu kang. Takut longsor dan lihat saja debunya itu terbang dan jatuh ke Kampung. Mending hasil tambangnya buat pembangunan di wilayah Serang atau Banten mah, inimah dikirim ke luar sama kapal-kapal tongkang itu,” ungkap Salam, warga Kecamatan Puloampel saat ditemui faktabanten.co.id Minggu (1/4/2018).
Salam bersama warga lainnya mengaku tidak berdaya untuk menyetop aktivitas eksploitasi gunung-gunung di wilayahnya. Ia hanya menuntut pihak Pemerintah Provinsi Banten dan Kabupaten Serang mau bertidak tegas dengan menutup kegiatan yang membuat masyarakat tidak merasa nyaman.
“Kalau kita (warga) stop pasti benturannya sama oknum kang, oknum tokoh warga atau oknum pejabat yang sudah dapat duit dari pihak pemilik tambang. Ya mau gimana lagi kita mah orang kecil, bagaimana pemerintahnya aja itu mah kalau aturan mah bisa dibuat,” terangnya.
Dan untuk wilayah Kota Cilegon, meskipun pihak pemerintah kota dan lembaga otoritas bencana mengakui faktor utama penyebab banjir pada beberapa bulan yang lalu mengepung Kota Cilegon merupakan kiriman dari wilayah hulu. Namun faktanya penanganan banjir lebih pada upaya jangka pendek berupa normalisasi Kali, dan jangka panjangnya berupa pembuatan Tandon-tandon.
“Sudah mengakui banjir yang terjadi air kiriman dari wilayah hulu tapi kenapa fokus di wilayah hilir. Kan aneh? Saya kira Pemkot juga tahu di wilayah hulu Kecamatan Ciwandan dan Citangkil banyak aktivitas tambang batu dan pasir yang tentunya merusak tatanan alam. Tapi Gunung-gunung dan perbukitan cadas sebagai daerah serapan dan penahan air, masih dibiarkan saja. Kan lucu?” kata Asep, warga Kecamatan Ciwandan.
Lebih lanjut Asep mempertanyakan keseriusan Pemkot Cilegon untuk berkoordinasi dengan Pemprov dalam menangani persoalan banjir di wilayah hulu Kota Cilegon dengan menutup aktivitas tambang, kembali melakukan rehabilitasi alam dan rekondisi dengan kembali melakukan penanaman kembali pada lahan eks tambang.
“Sebagian besar hasil tambang itu dikirim ke luar Cilegon bahkan Banten, coba lihat di ujung JLS truk-truk tronton pengangkut batu dan pasir itu. Yang mendapatkan untung ya penambang yang makin kaya. Terkait dampak banjir, apa pemerintah lupa Sunatullah gravitasi kalau air mengalir ke tempat yang lebih rendah dan kosong? Kalau ingat, ya harus berani bertindak tegas terhadap penambang-penambang itu,” tegasnya. (*/Ilung)