Ketua Umum PWI Hendry CH Bangun Paparkan Problematika Jurnalisme di Era Digital
SERANG – Wartawan adalah profesi yang bekerja berlandaskan etika sebagai panduan operasional, mulai dari merencanakan, menggali informasi, menulis berita, dan menyiarkan. Dalam perencanaan tersebut, ada tiga poin penting, yakni bersikap independen, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Demikian disampaikan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hendry Ch Bangun, saat menyampaikan materi, bagi peserta Banten Juornalist Training Camp (BJTC) I PWI Banten di Kota Serang, Banten, Selasa (24/10/23).
Dijelaskannya, poin penting di penggalian informasi adalah informasi harus faktual dan jelas sumbernya; serta tidak boleh merekayasa gambar, foto, suara; tidak melakukan plagiat, menghormati privasi. Untuk penulisan, tambahnya, penulisan wajib berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini menghakimi, menerapkan asas praduga tak bersalah.
“Namun fakta yang kita temui, pelanggaran poin-poin tersebut di atas terjadi secara massif dan dianggap hal biasa,” ungkapnya.
Hal itu, kata dia, terjadi karena, sekarang ada istilah yang disebut post editing, yakni perbaikan berita baru dilakukan apabila ada audiens yang protes, mengadukan kesalahan yang terjadi di berita itu.
Kata dia, editor tidak menyunting sebelum berita dimuat, disiarkan, karena mengejar waktu dan tidak sanggup memeriksa sekian banyak berita yang dikirim reporter.
“Saat ini dianggap biasa, memuat foto yang tidak terkait berita yang dimuat, dengan alasan untuk ilustrasi. Akibatnya persepsi pembaca/audiens bisa keliru apabila tidak ada penjelasan lengkap di caption foto, dalam kaitannya dengan berita yang dimuat. Karena itu, penting sekali memuat sumber dan waktu foto dibuat, selain menghindari mispersepsi, ada UU Hak Cipta yang wajib kita hormati,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Hendry, banyak pelanggaran asas praduga tak bersalah, memberi labelling kepada seseorang tanpa memahami status.
“Termasuk pelanggaran pedoman penulisan ramah anak dan ramah disabilitas,” tambahnya.
Lebih jauh, Hendry mengatakan, fenomena malas juga menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis di era digital. Menurutnya, ini terjadi akibat bergesernya ukuran keberhasilan reporter, dari kualitas berita menjadi kuantitas berita.
“Target membuat berita sebanyak mungkin sebagai ukuran keberhasilan seorang reporter. Kondisi ini membuat reporter memilih jalan mudah dalam mencari berita dengan mengutip informasi dari media sosial pesohor atau selebritas atau situs pribadi, klub, lembaga,” paparnya.
Akibatnya, kata Hendry, reporter jadi malas ke lapangan, karena selain menghemat tenaga, saat ini informasi apapun, sudah tersebar di media sosial. Saat ini, kata dia, wartawan sudah berubah menjadi content creator, mengkreasi berita dari mana saja tanpa harus bertemu narasumber dan berkeringat ke lapangan.
“Dulu apa yang dimuat, disiarkan, media massa dikutip dan disebarkan oleh media sosial. Saat ini apa yang dimuat media sosial, viral, malah menjadi sumber informasi bagi media massa,” ucapnya.
Lebih jauh, Hendry, menyampaikan, ketidakadilan yang terjadi pada media, akibat dominasi platform global, menyebabkan pendapatan semua jenis media berkurang drastis dalam 5 tahun terakhir.
Menurutnya, saat ini beriklan di media sosial lebih murah dan lebih menjangkau dibanding dengan media massa, dan sampaikan kapanpun tidak akan kembali ke masa jaya tahun-tahun sebelumnya.
“Masalah ini menjadi tanggungjawab bersama dari masyarakat pers dibantu pemerintah untuk mengurangi peran platform global lewat Publisher’s Right, mungkin sedikit meringankan beban media, tapi belum menyentuh akar masalah,” pungkasnya. (*/Red)