Jakarta – Industri baja nasional meminta pemerintah mencabut Permendag 22/2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja. Sebab, Permendag itu membuat impor baja hulu hingga hilir melonjak.
Komisaris PT Krakatau Steel Tbk (KS) Roy Maningkas mengatakan, protes, keluhan, dan masukan telah disampaikan industri baja dalam kurun waktu tujuh bulan, sejak diberlakukannya Permendag itu. Satu poin yang disoroti adalah pemeriksaan barang impor di luar pelabuhan (post-border) dari sebelumnya di pelabuhan.
Roy mengatakan, produsen baja hulu dan hilir sangat menentang diberlakukannya Permendag tersebut. Pasalnya, ketentuan ini membuat industri baja semakin rugi, bahkan mengalami kebangkrutan, karena tidak adanya kontrol dan pengawasan keluar masuknya produk baja impor ke pasar Indonesia, terutama asal Tiongkok.
“Atas dasar apa pemerintah memberlakukan Permendag 22/2018? Padahal, ketentuan impor besi dan baja yang sebelumnya dalam Permendag 82/2016 sudah cukup baik bagi industri baja nasional” kata Roy, Rabu (25/7).
Menurut Roy, pemberlakuan Permendag 22/2018 yang ditujukan pemerintah dalam rangka mempercepat proses importasi bahan baku (raw material) sangatlah tidak tepat diberlakukan bagi industri baja. Hal ini dikarenakan raw material bagi industri baja bukan bersifat mass product, tetapi sangat spesifik. Satu HS number dapat terdiri atas ratusan, bahkan ribuan item yang meliputi jenis, ukuran tebal, lebar, panjang, spesifikasi, kuantitas per item dan lain sebagainya. Itu sebabnya, aturan impor baru itu perlu dipertimbangkan kembali.
Saat ini, dia menuturkan, kekhawatiran tidak hanya dirasakan oleh produsen hulu saja, namun juga dirasakan oleh produsen hilir. “Saya tidak habis pikir, saat negara lain memproteksi pasar baja domestiknya, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Turki, Indonesia malah memberikan kemudahan importasi besi dan baja serta produk turunannya melalui pemberlakuan Permendag 22/2018” kata dia.
Menurut dia, industri baja merupakan tulang punggung perekonomian. Jika suatu negara memiliki kebijakan yang sangat mendukung industri baja domestiknya, pertumbuhan ekonomi negara tersebut pun akan meningkat dengan baik.
“Akan ada multiplier effect jika industri baja nasional bangkrut, antara lain pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, mempercepat deindustrialisasi, membesarnya defisit neraca perdagangan baja, menurunnya penerimaan pajak, dan menurunnya minat investasi di sektor industri baja,” ujar Roy. (*/Beritasatu.com)