Akademisi Angkat Bicara Soal Peseteruan HMI dan Baramuda Dimyati
PANDEGLANG – Dosen dan Peneliti Kebijakan Publik FISIP UNMA Banten, Eko Supriatno angkat bicara soal perseteruan antara aktivis Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pandeglang dengan Barisan Relawan Muda (Baramuda) Dimyati.
Menyikapi sikap reaktif Baramuda Dimyati yang akan melaporkan aktivis Mahasiswa HMI yang diduga telah menyebarkan tuduhan hoax dan pencemaran nama baik. Eko memgaku sangat menyayangkan atas sikap Baramuda Dimyati tersebut, ia meminta jika memang ada laporan, harusnya pihak Kepolisian juga berhati-hati dan tidak memproses lebih lanjut laporan atau aduan tersebut. Agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap aktivis di Pandeglang.
“Bawaslu dan aparat penegak hukum seharusnya mendukung HMI yang berusaha membuka praktik kejahatan Pemilu. Saya juga sangat prihatin atas dugaan dengan kasus penggunaan mobil Dinas Pemkab Pandeglang (plat merah) oleh Dimyati yang juga suami Bupati Pandeglang dipakai kampanye dalam Deklarasi Relawan Bara Muda Dimyati,” ungkap Eko di kediamannya di wilayah Kecamatan Labuan, Minggu (2/12/18)
Kata Eko, para aktivis HMI berniat baik dan ingin memastikan kinerja Bawaslu Pandeglang. Para aktivis sekadar mengekspresikan kebebasan bersuara dan mengkritik. Mestinya, aparatur lebih mengutamakan dialog dan menjadikan kritik ke dalam masukan positif untuk perbaikan kinerjanya.
“Perlu diingat! Aparatur Negara manapun di era demokratisasi, apalagi hari ini sudah berbasis internet (e-democracy). Jadi tak perlu mudah bereaksi dengan menggunakan sarana hukum pidana untuk melaporkan para aktivis kritis,” katanya
Menurutnya, Pemerintahan demokratis perlu melibatkan kritik, masukan, dan saran konstruktif. Dalam praktik demokrasi modern, partisipasi publik menjadi penting untuk mendukung keadilan dan keterbukaan. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa demonstrasi kini menjadi saluran utamanya manakala diskusi tak didengar, dan demonstrasi paling objektif dalam menginformasikan dan mengomunikasikan segala persoalan.
“Tindakan siapapun tak lagi bersifat sakral dan rahasia. Semua dapat dikonsumsi publik secara massal tanpa sekat, seluruh informasi irasional dan tak normatif akan menjadi konsumsi bersama,” ujarnya
Lanjut Eko, Era sekarang kian mengokohkan tradisi kebebasan berekpresi massal sebagai bukti ada lagi relasi subordinat absolut antara penguasa dan rakyat. Karena tradisi subordinasi absolut ini telah menghadirkan totaliter dalam politik dan konglomerasi kaum rente yang tak terbendung, itulah sebabnya sikap reaktif mendapat kritik.
“Mereka (Baramuda Dimyati, red) seharusnya tidak menggunakan sarana hukum pidana yang cenderung untuk menghukum bahkan membungkam sikap kritis para aktivis. Sebaliknya aparatur dalam menyikapi masukan HMI sebagai representasi publik seharusnya berkomitmen kuat untuk menerima masukan, saran dan kritik. Jika perlu mereka membentuk satuan-satuan tugas Bawaslu untuk investigasi secara serius, transparan, dan akuntabel,” jelasnya
Lebih dari itu lanjut Eko, diperlukan kebijakan hukum untuk melindungi para aktivis kritis agar tetap dapat memberi masukan dan saran kepada aparatur hukum jika terdapat kinerja menyimpang yang cenderung melukai perasaan keadilan masyarakat. Karena hal itu salah satu urgensi perlindungan aktivis kritis, agar mereka (aktivis, red) tidak traumatik apalagi dicap provokator.
“Itulah sebabnya tak jarang aktivis diperlakukan tidak manusiawi. Mereka diancam, diperlakukan dengan kekerasan dan sewenang-wenang dalam pemeriksaan mereka dipukul, disiksa, dilecehkan, dan berbagai teror lain. Tindakan demikian tak pantas terjadi di pemerintahan demokrasi, karena hanya akan mendorong lahirnya otoriter dan antikritik yang mengantarkan ke arah pemerintahan totaliter,” tutur Eko seraya menambahkan, jika ditelisik lebih mendalam, sesungguhnya telah tersedia berbagai aturan hukum yang mendorong agar setiap pemerintahan demokrasi melindungi para aktivis kritis yang menyuarakan aspirasi publik untuk kebajikan. Agar mereka terbebas dari berbagai bentuk kekerasan secara fisik maupun psikis. (*/Achuy)