3 Tahun Jokowi-JK, Tingkat Pengangguran Terus Menurun
JAKARTA – Tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menunjukkan optimisme yang cukup tinggi. Hal itu terlihat dari bidang tenaga kerja, di mana selama kurun tiga tahun, tingkat penggangguran mencatatkan rekor terendah.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengungkapkan, tingkat pengangguran pada kurun waktu 2015-2017 mencatatkan rekor terendah selama masa reformasi. “Kita patut bersyukur selama dua tahun terakhir tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia terus menurun. Ini merupakan capaian TPT terendah sejak bangsa Indonesia memasuki era reformasi,” ungkap Hanif.
Kemenaker mencatat, Tingkat Pengangguran Terbuka Nasional terus menurun dari 5,81 % pada 2015 menjadi 5,5 % pada 2016, dan 5,33 % pada 2017.
Secara kewilayahan, tingkat pengangguran di perkotaan memang relatif lebih tinggi dibanding di perdesaan. Namun, tren tingkat pengangguran di perkotaan juga terus menurun. Dari 7,02% pada 2015 menjadi 6,53% pada 2016, dan 6,50 % pada 2017. Politikus PKB ini mencatat, tantangan yang dihadapi ketenagakerjaan Indonesia sangat besar.
Baca Juga : Bank Banten Banyak Terima Pengalihan Kredit PNS dari BJB
Apalagi selama ini isu ketenagakerjaan dipandang bukan sebagai isu sentral melainkan isu pinggiran semata. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana republik ini secara keseluruhan menempatkan masalah ketenagakerjaan dalam seluruh pekerjaan. Padahal, menurut Hanif, isu ketenagakerjaan sejatinya merupakan isu strategis karena yang diukur sebuah pemerintahan sebenarnya adalah bagaimana pertumbuhan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan penyerapan lapangan pekerjaan tersebut.
“Pemerintahan apapun bisa disebut hebat jika diukur dari hal sederhana yang bisa dilihat rakyat yakni masalah ketenagakerjaan,” ujarnya.
Hanif mengatakan, adanya missmatch ini membuat penyerapan tenaga kerja mampet di tengah jalan. Karena itu, pihaknya justru memperkuat akses dan mutu melalui pelatihan kerja. Pelatihan kerja bisa di Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah ataupun swasta.
Menaker menjelaskan, trainning diperlukan karena setiap tahun ada 2 juta angkatan kerja baru yang muncul dan memiliki perbedaan latar belakang pendidikan. Namun, ujarnya, bukan berarti lulusan perguruan tinggi bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Sebab, dari data yang ada, hanya 37% orang yang bekerja sesuai latar belakang pendidikanya.
Pelatihan juga dibutuhkan karena angkatan kerja berlatar pendidikan SD/SMP pasti juga tidak bisa langsung bekerja. Fenomena yang harus dicermati adalah terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat di mana akan menyebabkan sejumlah pekerjaan hilang. Pekerjaan- pekerjaan lama tergulung sementara pekerjaan-pekerjaan baru dengan kualifikasi baru akan bermunculan. Di mana akhirnya juga dibutuhkan keterampilan dan kompetesi yang baru.
“Jadi, di satu sisi kita terus mendorong agar akses atau pelatihan kerja ditingkatkan. Tapi di sisi lain, kita meningkatkan akses atau trainning bagi pekerja-pekerja yang kehilangan pekerjaan dan membutuhkan up skilled untuk bisa memasuki pasar kerja baru,” katanya.
Perluasan kerja memang menjadi salah satu fokus yang sedang digarap oleh pemerintah agar tingkat pengangguran berkurang. Tidak hanya melalui pelatihan, namun Kemenaker juga mengembangkan sistem pemagangan di perusahaan-perusahaan. Dia mencatat ada 24.259 perusahaan besar dan menengah serta 283.002 perusahaan kecil yang bisa menyerap calon tenaga kerja melalui program pemagangan ini.
“Tidak hanya mendapat pengalaman, pemagangan bisa membentuk mental, perilaku kerja, dan kompetensi sesuai pasar kerja,” paparnya.
Pemerintah juga tengah memperluas akses penempatan kerja di luar negeri melalui pasar tenaga kerja Indonesia (TKI) formal. TKI formal lebih diunggulkan daripada TKI informal karena lebih terlindungi. Penempatan TKI formal menunjukkan tren peningkatan selama kurun 2015 hingga Juli 2017.
Dia memproyeksikan bahwa pada akhir 2019 penempatan TKI formal akan mencapai diatas angka 58%. Selain perluasan kesempatan kerja, pemerintah juga serius meningkatkan perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia di dalam dan luar negeri.
Dalam kurun 2015-2017, kesejahteraan karyawan secara umum meningkat. Indikasinya dari meningkatnya upah pekerja dibandingkan dengan laju inflasi setiap tahunnya. Pada 2015 kenaikan upah buruh mencapai 5,09% sedang laju inflasi mencapai 6,29 %. Kemudian pada 2016 kenaikan upah mencapai 10,04% berbeda jauh dengan laju inflasi di angka 4,42%. Sementara pada 2017 kenaikan rata-rata upah juga jauh diatas laju inflasi yakni 8,25% dan inflasi mencapai 3,83%.
Menurut Menaker, kondisi ini bukti betapa seriusnya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja baik dari sisi income maupun pengeluaran. Hanif menuturkan, upaya menekan angka pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan pekerja ditempuh melalui berbagai langkah sistematis.
Tidak hanya melalui upah saja, pemerintah juga memberikan perhatian pada upaya penanganan mogok atau unjuk rasa pekerja, penurunan kasus hubungan industrial, pengurangan jumlah tenaga kerja yang terkena PHK, dan pembangunan perumahan bagi pekerja.
Dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di masa depan, Kemenaker segera menyiapkan grand design penyiapan kompetensi tenaga kerja yang massif. Penyiapan rencana induk kompetensi tenaga kerja tersebut diperlukan mengingat selama ini pertumbuhan ekonomi masih banyak bergantung dari sumber daya alam (SDA).
“Masalah SDM itu sangat strategis dan kompleks. Untuk itulah perlu segera disiapkan grand design-nya agar ke depan tidak lagi bergantung kepada SDA melainkan melalui sumber daya atau ketrampilan SDM,” katanya.
Menaker juga mengungkapkan, selama ini di setiap pelatihan kerja, pihaknya masih kekurangan alokasi baik anggaran maupun sumber daya. Sebab, selama ini alokasi pelatihan banyak terserap di sektor pendidikan. Dia pun berharap adanya realokasi anggaran pendidikan yang sebagiannya untuk pelatihan kerja.
Menurut Hanif, bagi mereka yang tidak lulus SD-SMP dan tidak bisa melanjutkan pendidikan formal maka tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Kemudian, mau bekerja tidak punya keterampilan dan mau berwirausaha tidak punya modal.
Karena itu akses terhadap mereka harus diperkuat baik melalui balai latihan kerja yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun daerah. Pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar mengatakan, jika dilihat dari sisi makro yang mengacu pada data BPS per Februari, komposisi pekerja formal dan informal sudah mendekati 50% : 50%.
Hal ini terjadi karena pemerintah memberikan banyak paket kegiatan ekonomi. Kondisi inilah yang menyebabkan angka pengangguran bisa ditekan. Namun, menurut dia, perlu disorot dari sisi regulasi yang dinilai masih banyak persoalan.
Misalnya, penetapan upah minimum yang hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sehingga peran dewan pengupahan menjadi hilang. Padahal, adanya dewan sangat penting agar pembahasan upah minimum bisa berlangsung dialogis antara semua stakeholder. Masalah rendahnya tenaga kerja terampil terjadi karena kurangnya anggaran pelatihan. (*/Okezone.com)