Diduga Pungut Rp3 Juta Per Siswa, Ini Kata Ketua Komite MTsN 1 Kota Serang
SERANG – Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi Anti Korupsi (Amerta) menyoroti dugaan praktik pemaksaan iuran yang dilakukan oleh Komite Sekolah MTsN 1 Kota Serang terhadap orang tua siswa.
Iuran yang diminta berkisar antara Rp2,9 juta hingga Rp3,5 juta, yang disebut untuk pembelian fasilitas AC di setiap kelas serta pembayaran guru les sekolah.
Yoga, perwakilan Amerta, mengungkapkan bahwa banyak orang tua siswa merasa keberatan dengan nominal iuran yang dianggap terlalu besar.
“Pihak komite sekolah memang mengumpulkan wali murid untuk membahas iuran ini, tapi banyak yang tidak hadir karena takut ada unsur paksaan atau tekanan moral,” ujarnya, Senin (24/2/2025).
Salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya juga mengaku merasa terbebani dengan biaya tersebut.
Biaya yang diminta sekolah sangat memberatkan. Jika kami tidak sanggup membayar, kami dicap tidak pantas menyekolahkan anak di sini,” ungkapnya.
Amerta menilai praktik ini melanggar Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
“Pemerintah sudah menyediakan dana BOS untuk kebutuhan sekolah. Jadi, untuk apa dan ke mana perginya uang iuran ini?” tanya Yoga.
Ia mendesak Kejaksaan Negeri Serang dan Kementerian Agama Kota Serang untuk segera memeriksa dugaan pungutan ini.
“Jika terbukti ada pelanggaran, kami meminta agar pihak terkait diberikan efek jera agar kejadian serupa tidak terulang,” tegasnya.
Aktivis lainya, dari Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI), Ramadhan, mempertanyakan alasan sekolah negeri meminta iuran dengan nominal yang sangat besar.
“Saya heran, MTsN itu sekolah negeri dan seharusnya gratis. Kenapa justru meminta uang kepada orang tua siswa dengan jumlah yang sangat tinggi? Ini patut dipertanyakan,” ujarnya.
Menurutnya, praktik seperti ini mencederai dunia pendidikan dan bertentangan dengan prinsip pendidikan gratis di sekolah negeri.
“Bukannya sekolah negeri itu harusnya gratis? Tapi justru ada tindakan seperti ini yang merugikan orang tua siswa,” tambahnya.
Ramadhan juga meminta Kemenag Kota Serang untuk segera turun tangan dan menyelidiki dugaan pungutan liar ini.
“Kami meminta Kemenag segera mengevaluasi dan mengusut masalah ini agar tidak ada lagi praktik yang merugikan masyarakat dan mencoreng dunia pendidikan,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Komite Sekolah MTsN 1 Kota Serang, Hariri, menyatakan bahwa pemerintah pusat, provinsi, hingga daerah belum mampu menyediakan anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pendidikan.
Akibatnya, pihak sekolah terpaksa memungut iuran sebesar Rp2,5 juta hingga Rp3 juta per siswa.
Menanggapi pernyataan mahasiswa, dana tersebut digunakan untuk pembelian dan perbaikan AC, serta untuk membayar guru ekstrakurikuler (eskul) guna meningkatkan mutu pembelajaran.
“Pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun daerah, belum mampu memberikan anggaran untuk melengkapi fasilitas sekolah dan meningkatkan mutu belajar siswa. Oleh karena itu, berdasarkan hasil rapat dan kesepakatan dengan para orang tua murid, kami melakukan pungutan biaya melalui musyawarah,” kata Hariri.
Lebih jauh, Hariri mengungkapkan bahwa sekolah memiliki sekitar 1.118 siswa, dan hingga saat ini masih ada murid yang belum melunasi iuran tersebut.
Namun, pihaknya memberikan keringanan bagi siswa kurang mampu, dengan syarat menyertakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa masing-masing.
“Kami memastikan bahwa pungutan ini sudah melalui musyawarah dan kesepakatan dengan orang tua murid. Bahkan, bagi siswa yang kurang mampu, kami memberikan keringanan dengan bukti SKTM,” jelasnya.
“Dalam proses musyawarah memang terjadi beberapa perdebatan, tetapi akhirnya kesepakatan tersebut berjalan kondusif,” sambungnya.
Dilanjutkan, Hariri menekankan bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menyebutkan bahwa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) seharusnya mendapat tanggungan penuh dari pemerintah.
Namun, faktanya, sekolah ini tidak pernah menerima anggaran yang cukup untuk menutupi seluruh kebutuhannya.
“Madrasah Tsanawiyah Negeri merupakan lembaga pendidikan Islam yang seharusnya dibiayai oleh pemerintah. Namun, realitanya, tidak ada dana yang masuk ke sekolah kami untuk memenuhi kebutuhan fasilitas,” ujarnya.
Karena keterbatasan anggaran tersebut, pemerintah membentuk Komite Sekolah, yang terdiri dari perwakilan orang tua siswa, pakar pendidikan, dan tokoh masyarakat.
Komite ini diberi wewenang untuk mencari sumber pendanaan, baik dari pemerintah, perusahaan swasta, maupun dari orang tua murid.
“Selama ini, bantuan dari pemerintah dan perusahaan swasta tidak ada. Maka dari itu, kami memungut iuran dari orang tua siswa berdasarkan hasil kesepakatan,” pungkasnya.(*/Nandi)