Demoralisasi Demokrasi Kota Serang

*) Oleh : Adi Riyadi

DEMOKRASI adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan sebagai upaya dalam mewujudkan kedaulatan rakyat, salah satunya adalah pemilihan kepala daerah. Sedangkan Demoralisasi adalah kondisi dimana moral tak lagi menjadi pegangan hidup dalam melakukan suatu tindakan. Orang yang terjangkit penyakit demoralisasi dapat dikatakan sebagai manusia yang bejat yang tak lagi menghiraukan aturan moral serta norma yang berlaku di dalam kehidupannya (Prof. Dr. H. Duski Samad. M.Ag : 2013).

Melihat dari dua kata demokrasi dan demoralisasi, diharapkan rakyat Kota Serang tahu, demokrasi bukan sebatas pergantian pemimpin. Bukan pula sekadar coblos kertas lalu jadi kepala daerah. Juga bukan lima menit untuk menjadikan rakyat Sejahtera. Rakyat harus tahu demokrasi sendiri berasaskan kebebasan, demokrasi pun bisa dijadikan ajang demoralisasi (merusak moral).

Sistem yang digunakan untuk menentukan pemimpin kepala daerah di Indonesia adalah dengan sistem pemilihan demokrasi langsung, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Baik melalui jalur Parpol ataupun Perseorangan/Independen, temasuk pemilihan Walikota Serang yang akan di laksanakan 2018 mendatang. Kita semua berharap demokrasi di Kota Serang berjalan dengan baik dan tidak dijadikan ajang demoralisasi.

Sejak dibentuknya Kota Serang pada Tahun 2008 sebagai Ibukota Provinsi, sampai kini pembangunan infrastruktur dan suprastruktur masih nampak jalan di tempat, masih banyak kebutuhan masyarakat yang masih belum terpenuhi, kesenjangan sosial ekonomi, busung lapar, jalan rusak, irigasi belum tertata dengan baik, banjir di jalan raya masih belum bisa ditangani, penanganan sampah gagal, mengakibatkan kota serang kumuh, terlihat jelas tata kelola kota serang masih jauh dengan apa yang diharapkan.

Menurut penulis fenomena diatas diakibatkan demokrasi Kota Serang selama ini dijadikan ajang demoralisasi, dengan adanya mahar politik. Mahar politik ini berpengaruh terhadap demoraliasi, karena dengan pengeluaran modal yang besar akan ada keinginan pemimpin terpilih untuk mengembalikan modal yang dia keluarkan tersebut.

Kartini dprd serang

Sudah bukan rahasia lagi, biaya Pilkada dengan perahu partai politik menghabiskan uang banyak untuk mendapatkan rekomendasi parpol dan membeli suara masyarakat yang ada. Sehingga orientasi pembangunan di Kota Serang bukan semata-mata untuk kemaslahatan publik, tapi mengambil keuntungan untuk mengembalikan modal.

Demokrasi semacam ini akan melahirkan masyarakat yang pragmatis dalam berpolitik, masyarakat sebagai pemilih akan melihat kandidat yang kebermanfaatnnya secara praktis, misalnya kandidat harus memberi uang kepada masyarakat.

Secara hukum Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota mengatur secara jelas sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada setiap orang dan partai yang memperdagangkan dukungan yaitu: Satu, partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dua, setiap partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud ayat satu, dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.

Menurut penulis sudah saatnya masyarakat Kota Serang diberikan pemahaman politik untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan untuk Kota Serang dengan berkemajuan, yang memiliki ilmu, integritas, kapabilitas dan profesionalitas yang mumpuni untuk mengabdikan dirinya di Kota Serang.

Semoga pemimpin Kota Serang terpilih mampu melawan pragmatisme politik, kekuasaan bisa direbut untuk kemenangan masyarakat Kota Serang. Amiin. (*/Red)

*) Penulis adalah Mahasiswa UIN Banten Semester 7

Polda